DEKRIT
PRESIDEN
Dekret Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh
kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai penggantiUUDS
1950.Anggota konstituante
mulai bersidang pada 10
November 1956.Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958
belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan.Sementara, di kalangan masyarakat
pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu,
Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya
menganjurkan untuk kembali ke UUD
'45. Pada 30 Mei
1959 Konstituantemelaksanakan pemungutan suara.
Pengertian orla atau demokrasi terpimpin
Orde lama
adalah nama masa pemerintahan jabatan kekuasaan presiden soekarno dengan wakil
presidennya moh Hatta karena pada masa itu indonesia adalah negara yang baru
saja lahir setelah perang dunia 2 atas kemenagan sekutu Banyak rintangan yang
harus dihadapi indonesia yang baru saja merdeka yang memaksa harus berhadapan
dengan NICA yang di boncengi oleh sekutu yaitu inggris kemudian perjanjian KMB.
Ciri ciri pemerintahan masa orla
1) Peran dominan pada presiden.
2) Terbatasnya partai politik.
3) Berkembangnya pengaruh
komunis.
4) Meluasnya peranan ABRI sebagai
unsur-unnsur sosial politik.
Kelebihan
• Pemerintah lebih stabil.
• Pemerintah memiliki arahan dalam bekerja yaitu arahan
dari presiden
kekurangan
• Presiden menjalankan pemerintah secara Otoriter
• Pemerintahan tertutup.
• Aspirasi masyarakat tidak dihiraukan.
• Bertentangan dengan prinsip demokrasi.
• Berkembangnya pengaruh PKI
Penyimpangan
• Tahun 1960, presiden membubarkan DPR hasil pemilu,
padahal dalam penjelasan UUD 1945 saat itu ditentukan bahwa presiden tidak
mempunyai wewenang untuk membubarkan DPR.
• Dengan ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 Ir. Soekarno
diangkat menjadi presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan ketentuan
UUD 1945 yang menetapkan masa jabatan presiden lima tahun.
• Penyelewengan di bidang perundang-undangan seperti
menetapkan penetapan presiden yang memakai dekrit presiden 1959 sebagai sumber
hukum.
• Jaminan HAM lemah
• Peranan parlemen yang lemah
Tindakan dan kebijaksanaan
pada masa orla
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959,
maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia
menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah).Kebijakan
kebijakan itu seperti :
·
Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959
menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp
50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang
melebihi 25.000 dibekukan.
·
Pembentukan Deklarasi
Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara
terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian
Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
·
Devaluasi yang dilakukan
pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1.Tindakan
pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kondisi ekonomi
demokrasi terpimpin
Masa demokrasi terpimpin ekonomi diindonesia
mengarah ke system perekonimian etatisme. Artinya seluruh kegiatan ekonomi
diatur atau dikendalikan oleh pemerintah. Dimana perekonomian tersebut banyak
mengabaikan prinsi dasar ekonomi yang berakibatkan deficit keuangan Negara yang
meningkat tajam dari tahun ketahun.
Contoh :
·
Pada januari – agustus
1965 pengeluaran Negara tercatatat sebesar 11 miliar rupiah sedangkan
penerimaan Negara hanya 3.5 miliar rupiah.
Tabel Susunan Kabinet Era Demokrasi Terpimpin
Nama Kabinet
|
Tahun Pemerintahan
|
Nama Pimpinan
|
Kabinet kerja I
|
10 Juli 1959 – 18 Februari 1960
|
Ir. Soekarno
|
Kabinet kerja II
|
18 Februari 1960 – 6 Maret 1962
|
Ir. Soekarno
|
Kabinet kerja III
|
8 Maret 1962 – 13 November 1963
|
Ir. Soekarno
|
Kabinet kerja IV
|
13 November 1963 – 27 Agustus 1964
|
Ir.Soekarno
|
Kabinet Dwikora I
|
27 Agustus 1964 – 22 Februari 1966
|
Ir.Soekarno
|
Kabinet Dwikora II
|
24 Februari 1966 – 28 Maret 1966
|
Ir.Soekarno
|
Pemilu pada masa orde lama
Pada
masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai
dengan hadirnya 25 partai politik.Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal
bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta
perorangan.
Pada masa
diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia
dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13
Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran
partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai
yang mendapat pengakuan dari pemerintah,
Hasil penghitungan
suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang
signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam
terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara.
Berikut hasil Pemilu 1955:
Partai Nasional Indonesia (PNI) – 8,4 juta suara
(22,3%)
Masyumi – 7,9 juta suara (20,9%)
Nahdlatul Ulama – 6,9 juta suara (18,4%)
Partai Komunis Indonesia (PKI) – 6,1 juta suara
(16%)
Konfrontasi malaysia
Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau yang lebih dikenal sebagai Konfrontasi saja adalah sebuah perang mengenai masa depan Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak yang terjadi antara Federasi Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962 hingga1966.
Oleh karena itu, keinginan tersebut
ditentang oleh Presiden Sukarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysiayang
sekarang dikenal sebagai Malaysia sebagai "boneka Inggris"
merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan
terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia
Latar
belakang
Demonstrasi anti-Indonesia
di Kuala Lumpur yang
berlangsung tanggal 17 September 1963, berlaku ketika para demonstran yang
sedang memuncak marah terhadap Presiden Sukarno yang melancarkan konfrontasi
terhadap Malaysia dan juga karena serangan pasukan militer tidak resmi
Indonesia terhadap Malaysia. Ini mengikuti pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio bahwa Indonesia mengambil
sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963. Selain itu pencerobohan
sukarelawan Indonesia (sepertinyapasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan
melaksanakan penyerangan dansabotase pada 12 April berikutnya.
Sukarno yang murka karena hal itu
mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesia yang menginjak-injak lambang negara Indonesiadan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal
dengan nama Ganyang Malaysia. Sukarno memproklamasikan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato dia yang sangat bersejarah, berikut ini:
“
|
Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu djuga biasa Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar! Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu! Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu Doakan aku, aku bakal berangkat ke medan djuang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang enggan diindjak-indjak harga dirinja Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tundjukkan bahwa kita masih memiliki gigi dan tulang jang kuat dan kita djuga masih memiliki martabat Yoo...ayoo... kita... Ganjang... Ganjang... Malaysia Ganjang... Malaysia Bulatkan tekad Semangat kita badja Peluru kita banjak Njawa kita banjak Bila perlu satu-satu!
Perang
Pada 20
Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil
sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia
(sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk
menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dansabotase. Tanggal 3
Mei 1964 di
sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan
perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
·
Pertinggi
ketahanan revolusi Indonesia
·
Bantu
perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk
menghancurkan Malaysia
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang
wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang
bertugas untuk mengoordinasi kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi
Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga
(Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani
sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando
Di bulan Agustus,
enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor.Pada 17 Agustus pasukan
terjun payung mendarat
di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2
September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara
mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh
pasukan Resimen
Askar Melayu DiRaja dan Selandia
Baru dan
menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian
Kerajaan Malaysia di
Batu 20, Muar, Johor.
Ketika PBB
menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap, Sukarno menarik Indonesia dari
PBB pada tanggal 20
Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan
Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
militer Indonesia
yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut
Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8
September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68
Hari" oleh warga
Malaysia.
Akhir konfrontasi
Menjelang akhir 1965, Jenderal Soeharto memegang kekuasaan di
Indonesia setelah berlangsungnya Gerakan 30
September. Oleh karena konflik domestik
ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi
berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi
di Bangkok, meski diwarnai dengan keberatan Sukarno (yang tidak lagi memegang
kendali pemerintahan secara efektif), Kerajaan Malaysia dan pemerintah
Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik dan normalisasi hubungan antara
kedua negara. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian
ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
|
|
Berakhirnya orde lama
Faktor faktor :
1.
Terjadinya peristiwa Gerakan 30
September 1965.
2.
Keadaan politik dan keamanan negara
menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya
konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.
3.
Keadaan perekonomian semakin memburuk
dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi
rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan
masyarakat.
4.
Reaksi keras dan meluas dari masyarakat
yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI.
5.
Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb)
yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front
Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk
menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
6.
Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10
Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan
Rakyat) yang berisi :
· Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
· Pembersihan Kabinet Dwikora
· Penurunan Harga-harga barang.
· Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
· Pembersihan Kabinet Dwikora
· Penurunan Harga-harga barang.
7.
Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21
Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan
rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang
terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
8.
Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno
semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam
peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah
dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub)
9.
Sidang Paripurna kabinet dalam
rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil.
Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang
ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk
mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan.
Post a Comment